



“Soalnya point of view anak muda (yang merupakan target Yamaha) sekarang ini sudah bergeser menjadi lebih mobile. Karena itu diperlukan media komunikasi yang mobile pula seperti media visual communication semacam televisi, digital mobile dan on line,” jelas Barliansyah Assistant Manager Public & Artist Relation Dept. Yamaha Musik Indonesia.
Pengembangan brand Yamaha Music Indonesia, pada awalnya memang terlihat lebih fokus pada berbagai kegiatan sales event atau brand activation. Sementara kegiatan advertising dilakukan dalam frekuensi yang tidak terlalu besar dan kebanyakan dilakukan melalui media cetak. Namun sejak tiga bulan lalu, strategi mereka nampak mulai berubah. Hal ini terlihat dengan munculnya iklan produk Clavinova dan piano di televisi. “Sekarang ini kami lebih suka menyebutnya sebagai strategi sales event plus-plus. Artinya kami juga menggunakan iklan sebagai media komunikasi kepada publik,” tambah Barli lagi.
Iklan, jelas Barli, ternyata masih menjadi media yang paling efektif untuk pembentukan image merek dan sebagai media komunikas kepada target yang lebih massal. Karena itu, sekarang mereka kembali menempatkan advertising di dunia visual komunikasi sebagai jalur utama dalam setiap ektivitas marketing. Kendati begitu, sebagai penyeimbang dalam pengembangan brand, sales event tetap tidak akan dikurangi porsinya.
Guna menyerap aspirasi target yang lebih mobile tadi, selain media televisi, Yamaha Musik juga memanfaatkan media on line dengan menggunakan website Yamaha Musik Indonesia. Barli mengaku, tren ini mutlak mereka lakukan sebagai jalur untuk memberikan informasi sebanyak-banyaknya kepada pasar.
Yamaha Endorser
Salah satu strategi Yamaha untuk mengembangkan brandnya yang sudah dirintis sejak lama adalah merekrut kalangan artis nasional sebagai Endorser. Sesuai dengan profil produknya, artis-artis yang digandeng sebagai duta diseleksi dari kalangan musisi papan atas seperti Andy Rif/. Para musisi ini diharapkan bisa menjadi influencer bagi konsumen yang bisa meningkatkan citra Yamaha Musik di mata publik. “Selain itu kami harapkan mereka juga bisa menciptakan word of mouth di kalangan musisi sendiri,” tambah pria yang dekat dengan kalangan artis tersebut.
Penjelasannya mudah. Tidak hanya dari produknya, selama ini kekuatan Yamaha sebagai brand keluaran sebuah perusahaan alat musik juga sangat didukung oleh sekolah musik yang didirikannya. Secara marketing, sekolah musik merupakan strategi mereka untuk menciptakan pasar baru -created new market. Maka mudah dimengerti, di tengah-tengah itu bisa ditempatkan artis sebagai influencer-nya. Keberadaan musisi menjadi sangat strategi karena mereka merupakan tren setter yang sering ditiru oleh anak muda yang menjadi target market Yamaha.
Tak kalah pentingnya, sejarah pengembangan brand Yamaha Musik selama puluhan tahun sangat lekat dengan event band competition. Menurut Barli, hal ini merupakan salah satu strategi Yamaha Musik untuk membangun image di kalangan anak muda peminat band. Kesertaan dalam kompetisi band level nasional tersebut dipastikan akan membuat mereka selalu ingat image brand Yamaha Musik. “Bisa dibilang ini adalah wadah untuk mengomunikasikan brand Yamaha Musik di kalangan anak muda Indonesia,” tambahnya.
Yang terbaru, Yamaha baru saja membentuk Yamaha Artist Communication Centre sebagai bagian dari kampanye apresiasi bagi kualitas musisi Indonesia. Selain agar lebih mendekat kepada kalangan artis Yamaha Musik, media dan publik, menurut Barli, kampanye itu juga merupakan strategi jangka panjang dalam pembangunan image Yamaha Musik Indonesia. Dengan kata lain, pembentukan Yamaha Artist Communication Centre merupakan intergasi dari strategi komunkasi jangka panjang dan strategi marketing jangka pendek (revenue).
Barli berharap iklan yang sudah mereka lakukan selama ini bisa juga menciptakan calon pembeli baru seefektif pengaruh sekolah musik Yamaha. Optimisme ini tampaknya cukup beralasan karena sejak mereka beriklan dan membentuk Yamaha Artist Communication Centre, menurut Barli, terjadi kenaikan penjualan dengan pertumbuhan sekitar 30%-40% per tahun. Bahkan sekarang ini, akunya, Yamaha telah berhasil menguasai pangsa pasar di atas 50%.
Ditulis oleh Nurur R. Bintari; Foto : Ihsan Sulaiman
Objektif awalnya adalah semacam service after sales. Sebagai unit bisnis PT Astra International (AI) Astraworld dibentuk dengan maksud untuk memberi nilai tambah kepada para pembeli mobil di jaringan AI. Jadi, menurut Bambang Gunawan, Deputy of AI-So & Affco Support, setiap pemilik mobil merek Toyota, Daihatsu, Isuzu, BMW dan Peugeot otomatis menjadi anggota Astraworld. Mereka berhak mendapatkan privilege berupa layanan-layanan lengkap yang terkait dengan kebutuhan berkendara. Misalnya, jika mengalami kondisi darurat di jalan, sepeti mogok, ban kempes, kunci tertinggal di mobil, bahkan kehabisan bensin, mereka bisa menghubungi “Call Astraworld” dan akan segera mendapatkan bantuan.
Pada akhirnya, ‘member otomatis’ yang terbentuk atas inisiatif principal ini berkembang dengan percepatan jumlah anggota yang luar bisa. Maklum saja, akumulasinya berbanding lurus dengan penjualan mobil lima merek di atas. Sampai September 2009, jumlahnya sudah mencapai 500 ribuan lebih yang tersebar di Jabodetabek, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Denpasar dan Medan.
Begitupun komunikasi ini ternyata juga sulit berjalan secara merata. Interaksi paling intense biasanya terjadi saat cabang-cabang bersangkutan melakukan uji emisi gratis terhadap anggota AstraWorld.
Satu lapis segmen yang paling mungkin didekati secara massal adalah profil anggota yang internet minded. Maka sejak beberapa tahun belakangan, internet dimanfaatkan menjadi channel yang digunakan sebagai wadah untuk berkomunikasi dengan anggota Astrawold. Jadi selain “Call Astraworld”, mereka juga memiliki channel berbasis internet yaitu Click Astraworld dengan alamat www.astraworld.com.
Dalam perkembangannya, ketika dunia internet memasuki tahap yang lebih maju (web 2.0) di mana komunikasi ideal tidak lagi bersifat vertikal, maka mereka juga ikut memanfaatkan social media networking Facebook. Ada tiga account yang mereka bentuk yaitu AstraWorld’ers, AstraWorld Community (group) dan AstraWorld,my driving partner.
Awalnya komunikasi belum terjalin dua arah. Karena itu pihak AstraWorld rajin memancing dengan menulis status. Lama-lama anggota komunitas ini aware dengan aktivitas pihak AstraWorld. Jadilah setelah waktu 7 bulan, komunikasi mulai terjalin secara horizontal dan interaktif. Inisiatif bisa 100% berasal dari member. Misalnya seorang anggota komunitas bertanya, anggota lainnya langsung menanggapi.
Dengan kondisi ini, sekalipun tidak terdapat struktur organisasi dalam komunitas, pengurus AstraWorld tinggal memantau interaksi komunikasi yang terjadi. Dalam menentukan jenis-jenis materi yang di-post ke Facebook, prinsip mereka tidak jauh dari positioning Astraworld yakni sebagai partner berkendara.
Saat ini jumlah anggota AstraWolrd di Facebook untuk Astrawolrd Community sudah mencapai 5.019 member, Astra World’ers 2.887 friends, sementara AstraWorld my driving partner memiliki 647 fans.
Sebagai corporate, AstraWorld berusaha membangun komunikasi dua arah dengan anggota komunitas. Guna mendukung ide membangun komunitas online, korporat mendedikasikan full team marketing communication sebagai admin Facebook. Tak hanya memberikan informasi terkait dengan kepentingan perusahaan, mereka juga menggali masukan dari para anggota, misalnya melalui kuis atau polling. Tak jarang anggota komunitas juga langsung memberikan masukan atau testimoni terhadap layanan AstraWorld. Sementara untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan terkait dengan teknik otomotif, AstraWorld menyediakan teknisi-teknisi yang dapat memberikan jawaban terpercaya.
Guna mendapatkan peluang untuk bertatap muka dan berinteraksi langsung dengan anggota komunitas, bulan Juli lalu mereka mengadakan acara nonton bareng (nobar) untuk anggota AstraWorld Community di Facebook. Event off air ini, menurut pengakuan Bambang, berlangsung cukup sukses sehingga akan dijadikan pilot project untuk acara serupa di daerah Jawa Barat dan Jawa Timur.
Menggiurkan
Dengan jumlah member (berbasis konsumen) mencapai lebih dari 500 ribu, Bambang mengakui sampai saat ini mereka belum berhasil melakukan profiling anggota secara menyeluruh. “Kami belum tahu persis bagaimana profil dan behaviour mereka, serta terbagi ke dalam kelas-kelas apa saja,” ujarnya. Profiling sederhana biasanya dilakukan oleh masing-masing brand jika yang bersangkutan akan mengadakan event.
Namun ketidakjelasan profiling itu nyatanya tidak menghalangi minat beberapa pemilik brand untuk melakukan kerjasama. Profil sebagai pemilik kendaraan beroda empat rupanya dianggap merupakan sasaran potensial untuk memperluas pangsa pasar kartu kredit sehingga beberapa merek besar tertarik untuk melakuan co-branding dengan AstraWorld. Co-branding pertama dijalin dengan BII pada tahun 2003. Setelah itu pada 2007 BCA juga menyepakati kerjasama serupa. Terakhir tahun lalu jalinan kerjasama ini meluas kepada Bank Permata.
Para pemilik mobil yang telah menjadi anggota AstraWorld dan nasabah yang melakukan pembelian mobil merek yang terdapat dalam jaringan PT AI dapat memperoleh secara khusus kartu AstraWorld. Selain berfungsi sebagai tanda keanggotaan, kartu itu biasanya juga berfungsi sebagai kartu kredit—khusus bertema otomotif—yang dikeluarkan oleh bank bersangkutan.
Benefit yang ditawarkan kepada member AstraWorld pemegang kartu ini biasanya berkisar pada potongan harga saat belanja di merchant-merchant tertentu atau saat servis di bengkel resmi Astra. Selain itu mereka juga menawarkan berbagai fasilitas konsultasi mulai dari perencanaan pembelian kendaraan, pemilihan asuransi, perusahaan pembiayaan, pengurusan dokumen dan fasilitas lainnya.
Godo Tjahjono, Managing Director Decision, Marketing Consulting:
Harus Konsisten pada Satu Atribut
Selama ini pada dompet seseorang biasanya terdapat 3 jenis kartu: 1) kartu kredit yang lebih banyak berfungsi sebagai kartu untuk diskon, 2) kartu untuk identitas yang bisa memberikan image, 3) kartu emergency. Nah, sebagai salah satu pemegang kartu Astraworld, selama ini saya merasa kartu itu cuma menjadi semacam kartu emergency, saya tidak merasakan ada ikatan emosional dengan komunitas ini.
Kalau mau dikembangkan, seharusnya Astraworld 'dibaguskan' dan dianggap sebagai brand dan dijadikan personality. Astraworld harus identik dengan sesuatu. Contoh yang paling dekat adalah AXIC yang personaliti member-nya biasanya keluarga muda, pemilik mobil pertama, karir sedang menanjak dan sebagainya. Atau Kijang Innova yang biasa dimiliki oleh keluarga mapan.
Untuk menuju ke sana, yang pertama, Astrawolrd harus konsisten dulu terhadap satu atribut. Kendati Astraworld berangkat dari berbagai merek, saya rasa bisa dicari benang merahnya. Nyatanya The BodyShop bisa menemukan identitas sebagai “nonanimal testing.” Dari sana barulah mereka bisa membuat berbagai program, sponsorship maupun program-program CSR. Sehingga ke depan pemegang kartu Astraworld bisa merasakan bahwa dia adalah someone.
Kekuatan online media saat ini harus mulai diwaspadai oleh para pemilik brand. Perkembangan web 2.0 seperti social media, blog, forum memungkinkan orang menjadi produsen sekaligus konsumen langsung (prosumen), artinya orang tidak lagi sekadar membaca berita-berita yang ada, tetapi menjadi pencipta dari berita-berita tersebut. Dengan begitu, semua orang bisa mengungkapkan kegelisahannya atau kekecewaannya dengan bebas dan bisa dibaca oleh seluruh orang di dunia. Setali tiga uang dengan potensinya dalam merusak image suatu merek, online media dapat digunakan sebagai sarana untuk memperkuat image suatu merek.
Menurut Hermawan Kartajaya (Founder & CEO MarkPlus,Inc), memang saat ini perkembangan Internet dengan Web 2.0 dan Social Networking-nya serta perkembangan mobile technology bukan hanya akan mengubah langkap dunia bisnis dan pemasaran, namun juga akan mengubah perilaku masyarakat secara keseluruhan. “Jangan salah, walaupun hampir semua contoh yang saya berikan berasal dari luar Indonesia, namun praktik New Wave Marketing ini bukan hanya terjadi di negara-negara maju. Dengan kemajuan teknologi, apa-apa yang terjadi di negara-negara tersebut bisa dengan cepat masuk ke Indonesia,” jelasnya.
arketing memang telah masuk era baru. Hal ini ditandai oleh beberapa perubahan langkah bisnis antara lain masuknya kita ke (1) era kreativitas yang didorong oleh teknologi digital, termasuk fenomena Web 2.0 yang memberi kesempatan bagi kita semua untuk berpartisipasi, (2) dunia yang ”mbledos” (baca: flat) seiring dengan perubahan di politik-hukum, ekonomi dan sosial budaya, yang semakin digerakan oleh kekuatan personal, individual, dan kaum grassroot, dan (3) open market, pasar yang semakin terbuka dan seamless. Ketiga hal tersebut membuat kita menyadari bahwa secara total, lanskap bisnis sudah semakin berubah dari yang tadinya vertikal menjadi horizontal. Implikasi dari semua hal itu adalah terjadinya demokratisasi terhadap semuanya, tak terkecuali dunia bisnis dan pemasaran.
Cara-cara lama yang membawa kita ke puncak kejayaan belum tentu relevan untuk kita gunakan di dunia yang terus berubah ini. Langkah promosi yang top-down menjadi sering kali tidak efektif, karena di dunia yang semakin canggih ini, konsumen menjadi lebih ’pintar’. Konsumen semakin ingin dianggap sebagai manusia, bukan lagi sebagai ”objek jualan” pemasar. Artinya mereka ingin dianggap sebagai manusia yang memiliki kebiasaan untuk ’ngumpul’, ’ngerumpi’ , tampil, bermain, dan hasrat dan kegelisahaan lainnya. Hal tersebut membawa imperatif bagi pemasar mengenai perlunya pendekatan pemasaran yang baru. Di saat konsumen ingin dianggap sebagai individu, maka pemasar harus lebih manusiawi dalam hal praktik pemasarannya. Yang diperlukan adalah praktik pemasaran yang lebih terbuka di mana pemasar melakukan engagement dengan konsumen secara horisontal, ekspiriensial, komunal, dan juga mempergunakan platform teknologi seperti internet dan seluler agar tercipta suatu keadaan pasar yang selalu connected, catalyzed, dan civilized. “Itulah yang kami sebut sebagai pendekatan New Wave Marketing!,” tutup Hermawan. (Andi)
Ada tiga inisiatif yang telah ditetapkan pada inisiatif online marketing yang dilakukan oleh pemasar yaitu:
Get Social, yang artinya pendekatan social media (artinya komunikasi yang dilakukan bukan lewat media tradisional/konvensional) yang dilakukan oleh pemasar.
Get Experiential, kegiatan pemasaran yang unik dan ekspiriensial yang dilakukan oleh pemasar, atau
Get Mobile, yang artinya kegiatan pemasaran yang interaktif lewat mobile
JAKARTA, KOMPAS.com — Mengakhiri seminar sehari bertajuk "Marketing in Turbulent Times" pada hari Rabu (27/5), Prof Philip Kotler, yang dijuluki Bapak Marketing Modern, memberikan nasihatnya kepada para pebisnis di Indonesia: "Think customers and you'll be save". Artinya kurang lebih, rengkuhlah para pelanggan Anda supaya bisnis Anda bisa tetap berlangsung baik.
Seminar di Ballroom Hotel Indonesia Kempinski, Jakarta, dan diselenggarakan atas kerja sama Kompas Gramedia, Markplus Inc, dan BRI Prioritas itu berlangsung menarik. Kotler di penghujung seminar menjelaskan masa depan marketing yang akan ditandai dengan kolaborasi antara produser dan seluruh stakeholder, termasuk pelanggan tadi.
"Collaborative marketing antara lain ditandai dengan co-created experiences," kata Kotler. Ia menjelaskan, keterlibatan pelanggan dalam menghasilkan produk yang lebih baik menjadi bagian penting dari model pemasaran masa kini.
Ia mencontohkan tentang pelibatan komunitas sepeda motor. Mereka diundang oleh perusahaan tertentu untuk memberikan sumbangan pemikiran guna memperbaiki produk motor yang menjadi idola mereka itu.
"Belum semua perusahaan memasuki collaborative marketing secara utuh," ujarnya. Sebagian baru memasuki fase relationship marketing, yang sifatnya lebih menjaga hubungan antara produsen dengan konsumen. Namun ini masih lebih baik daripada sekedar transactional marketing, yang muncul pada era 50-an.
Kepada ratusan hadirin yang tampak betah mengikuti seminar dari pagi hingga petang itu, Kotler menjelaskan evolusi marketing mulai dari era 50-an sampai era 2000-an, yang ia sebut financially-driven marketing.
Masing-masing era menciptakan istilah tersendiri dalam dunia marketing, yang berlaku baik pada masanya. Tetapi selayaknya sebuah evolusi, makin ke sini makin kompleks sejalan dengan kemajuan ekonomi dan industri komunikasi.
Dalam bahasa Inggrisnya yang sangat jelas dan tidak rumit itu, Kotler, yang hari ini berusia 78 tahun, itu merumuskan pola marketing masa depan itu sebagai Marketing 3.0, yang bukunya segera diluncurkan.
Marketing nantinya tidak hanya menyentuh pikiran dan hati pelanggan, tetapi juga harus sampai pada penciptaan semangat (spirit) di antara para pelanggan. Sehingga, suatu perusahaan tidak hanya mampu membuat sekadar lebih baik atau berbeda dengan kompetitornya, tetapi juga bahkan mampu membuat perbedaan.
Kotler malam ini menghadiri jamuan makan malam (gala dinner) yang diselenggarakan oleh Kementerian Budpar. Pada kesempatan itu, Kotler akan diangkat oleh Pemerintah Indonesia sebagai Dubes Pariwisata Indonesia.
Keadaan bangun pun saya sering bermimpi Blak Magik is Designed by productive dreams for smashing magazine Bloggerized by Ipiet © 2008